Thursday, 12 November 2009

Lomba Blog Ilmiah Mahasiswa

Tema: Peran Mahasiswa dalam Menanggulangi Bencana


Menemukan Kembali Ruh Humanistik Mahasiswa


Tulisan ini saya persembahkan untuk: keluarga saya di Sumatera Barat. Kita pernah mengalami saat yang cukup menakutkan dalam hidup ini. Tapi, ketika saya melihat senyuman kalian, saya yakin bahwa badai itu pasti berlalu. (Bandung, 13 November 2009 pukul 0:23 WIB)



Bingkai Realitas Pemuda Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terbanyak di dunia. Jika diamati menggunakan piramida kependudukan Indonesia, ternyata rasio perbandingan jumlah usia tua dan usia muda sangat timpang. Piramida kependudukan di Indonesia menyatakan bahwa jumlah penduduk yang berusia muda lebih banyak dibandingkan usia tua. Itu artinya, Indonesia memiliki potensi luar biasa sebagai negara maju karena sumber daya manusia muda yang banyak. Lantas, apakah kondisi yang demikian membuat kaum muda Indonesia dapat diandalkan demi pembangunan bangsa?

Jika kita cermati dengan kaca mata realitas, nyatanya hingga kini kaum muda Indonesia belum mampu sepenuhnya memberikan konstribusi yang nyata bagi bangsa ini. Sekarang yang jadi pertanyaan, kenapa kondisi ini bisa terjadi? Menurut hemat saya, ada beberapa faktor yang menjadi kendala dalam mengoptimalkan produktivitas kaum muda di Indonesia.


Logika sederhana seperti ini, untuk menghasilkan karya-karya yang besar tentunya kita harus mempersiapkan bekal agar karya kita menjadi lebih berguna bagi kemashlatan bersama. Lalu, bagaimana cara kita untuk mempersiapkan bekal itu? Salah satu caranya dengan belajar. Nah, apakah belajar harus di lembaga pendidikan atau tidak? Menurut Thursan Hakim, belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir, dan lain-lain kemampuan.

Menurut saya, belajar adalah salah satu faktor utama kenapa kaum Indonesia kurang produktif, kurang cakap, kurang tanggap, dan sebagainya. Padahal, Dinas Pendidikan Nasional telah menetapkan wajib belajar minimal sembilan tahun. Tapi nyatanya, himbauan tersebuat tak jua mampu meningkatkan kapabilitas intelektual, emosional, dan spritual kaum Indonesia.


Pertanyaan yang cukup menggelitik saya adalah sebenarnya apa yang salah dengan kaum muda Indonesia sehingga tak menjadikan belajar sebagai langkah-langkah untuk pendewasan dan kehormatan? Pertanyaan ini cukup dalam untuk dikaji lebih lanjut. Tapi yang jelas, inilah realitas kaum muda Indonesia sekarang.

Paradigma yang berkembang, kaum muda masih dianggap sebagai masalah. Bukan sebagai one way solution dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang menghimpit bangsa ini. Lantas sebagai kaum muda, akankah kita hanya berpangku tangan seraya berkata, “Muda hura-hura, tua kaya raya, mati masuk syurga.” Tidak! Slogan itu terlalu hina bagi kita kaum muda karena pada hakikatnya adalah komponen terpenting suatu bangsa. Bahkan, presiden Soekarno pernah menyampaikan sebuah kata mutiara yang cukup menggugah. “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. (Bung Karno)

Jadi intinya, kaum muda adalah harapan bagi bangsa ini. Banyak mimpi-mimpi besar yang harus diwujudkan kaum muda. Sekarang, saatnya bangkit, kawan! Lantangkan suaramu. Pecahkan stigma-stigma negatif tentang pemuda Indonesia. Buktikan pada dunia bahwa kita adalah garda terdepan dalam memajukan bangsa Indonesia.

Mahasiswa itu pemuda
Menurut Adhyaksa Dault, mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga, usia kaum muda berkisar antara usia 16—30 tahun. Alasannya, karena pada usia tersebutlah seseorang masih mampu produktif dan menghasilkan karya dengan baik dan optimal.
Lantas, pemuda yang bagaimana yang mampu sebagai pemegang estafet akselerasi untuk Indonesia lebih baik? Banyak pilihan yang mungkin terbesit di benak Anda. Apakah itu pemuda yang cerdas dan berkepribadian, atau pemuda yang menghabiskan masa mudanya dengan sesuatu yang tidak berguna? Saya yakin, jawaban Anda adalah pemuda yang cerdas dan berkepribadian. Cerdas tak hanya diukur dengan seberapa tinggi kecerdasan IQnya saja. Melainkan cerdas ketika mampu memosisikan dirinya dan sadar betul perannya sebagai kaum muda. Selain cerdas, berkeribadian adalah salah satu kombinasi yang elok untuk menggambarkan pemuda yang sesunguhnya.

Saya yakin, sebuah abstraksi yang telah saya kemukakan di atas sudah membuat Anda mengerti siapa pemuda yang saya maksud. Ya, benar atau tidak tebakan saya, tapi saya yakin, Anda sepakat bahwa orang hebat itu adalah mahasiswa.

Bagi bangsa Indonesia, bisa dikatakan mahasiswa adalah golongan yang cukup ekskusif. Kenapa? Karena pada kenyataannya, jumlah mahasiswa di Indonesia jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah pemuda yang tidak berstatus mahasiswa. Namun, apakah sebagai mahasiswa kita bangga akan ke-ekslusif-an kita? Di satu sisi, kita harus bangga karena kita adalah orang-orang beruntung karena tidak semua pemuda yang mampu mengecap pendidikan di perguruan tinggi. Tapi di sisi lain, kita harus menyadari peran kita sebagai mahasiswa.

Mahasiswa adalah insan pembelajar yang memperjuangkan nilai-nilai dasar dalam berkehidupan di tengah masyarakat. Sebuah nilai humanistik bagaimana memanusiakan manusia. Selain itu, ada juga yang berpendapat mahasiswa adalah kaum marginal yang memiliki mimpi dan harapan yang dibuktikan dalam kerja nyata.

Mahasiswa memang menjadi komunitas yang unik di mana dalam catatan sejarah perubahan selalu menjadi garda terdepan dan motor penggerak perubahan. Mahasiswa di kenal dengan jiwa patriotnya serta pengorbanan yang tulus tanpa pamrih. Setidaknya, ada empat peran mahasiswa. Yaitu peran moral, peran sosial, peran akademik, dan peran politik.

Namun, pada tulisan ini saya tidak mengupas peran mahasiswa secara keseluruhan. Saya akan menitikberatkan peran mahasiswa yang berlakon sebagai peran sosial. Kenapa peran sosial? Karena korelasi antara peran moral, peran akademik, dan peran politik sudah menjadi siklus lingkaran mahasiswa secara mutlak. Namun ternyata, sering kali mahasiswa melupakan peran pentingnya sebagai agen sosial.

Salah satu amanah tri darma perguruan tinggi adalah pengabdian kepada masyarakat. Nah, pengabdian kepada masyarakat adalah salah satu aktualisasi yang nyata bagi mahasiswa sebagai agen sosial. Tapi yang jadi pertanyaan, bagaimana caranya mahasiswa mampu mengaktualisasikan peran sosialnya dalam dunia kampus? Ya, diakui pertanyaan ini cukup sulit untuk dijawab. Namun, tidak menjadi pembenaran untuk kita (baca: mahasiswa) hanya berdiam diri.

Lalu, perlukah sebuah wadah untuk menghimpun peran-peran sosial mahasiswa agar menjadi peran yang luar biasa? Tentu. Mahasiswa memerlukan wadah untuk menyatukan berbagai macam energi positif tersebut agar peranan yang mulanya ‘kecil’ menjadi peranan besar yang terorganisir. Karena jika tidak, peran-peran sosial tersebut seakan tak ada ruhnya.

Mahasiswa tanggap bencana
Salah satu cara memainkan peran mahasiswa sebagai agen sosial adalah dengan terjun langsung ke ranah sosial yang nyata, misalnya musibah atau bencana. Sebagaimana yang kita tahu, Indonesia merupakan negara yang rawan akan bencana. Jika melihat sebab terjadinya bencana, maka benca tersebut dibedakan menjadi dua. Yaitu bencana karena ulah perbuatan manusia seperti banjir dan kebakaran. Selanjutnya, ada bencana yang disebabkan oleh alam sendiri misalnya gempa, tsunami, dan sebagainya.

Ketika musibah senantiasa melanda negeri ini, apa yang bisa kita lakukan sebagai mahasiswa? Apakah kita hanya cukup mengetahui berita tentang musibah-musibah yang terjadi? Atau, kita cukup sadar untuk menjalankan peran kita sebagai agen sosial. Saya yakin, sebagai insan intelektual mahasiswa pasti akan memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya ketika bencana tiba.

Lantas, kontribusi apa kiranya yang mampu diberikan mahasiswa?
Take action
Langkah yang cukup efektif yang bisa dilakukan mahasiswa ketika terjadi bencana adalah langsung melakukan tindakan kemanusiaan. Bentukannya seperti menggalang dana dan turut menjadi relawan bencana. Seperti yang saya katakan sebelumnya, perlu sebuah wadah untuk melegitimasi aksi kemanusiaan kita (baca:mahasiswa). Jika tidak, tentunya akan ada permasalahan-permasalahan yang muncul di lapangan. Contoh sederhananya, korban bencana yang kita tolong bisa jadi akan mempertanyakan bantuan yang kita berikan jika tidak ada kejelasan dari mana sumbernya dan semacamnya. Oleh karena itu, penting bergerak bersama dalam suatu wadah. Bentukan pertolongannya bisa seperti, memberikan makanan, obat-obatan, dan memberi semangat kepada gorban bencana.

Penyuluhan akan bencana
Peran in bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau segelintir orang saja. Tetapi semua pihak termasuk mahasiswa. Ya, bencana tidak dapat diprediksi kapan terjadinya. Namun, ada cara cerdas yang bisa lakukan yaitu dengan mengenal bencana-bencana dan mencarikan sebuah solusi ketika bencan itu terjadi. Misalnya, mahasiswa menyosialisasikan tentang gempa kepada masyarakat luas dan memberikan pembelajaran apa yang mesti dilakukan ketika gempa terjadi. Mahasiswa bisa bekerja dengan LSM atau organisasi terkait, misalnya SAR, PMI, dan lainnya.

Berdoalah, kawan!
Bencana dan musibah tidak dapat diprediksi oleh siapa pun. Tapi minimal, kita berdoa agar musibah tidak terjadi di negeri kita. Anda percaya kekuatan doa? Ketika meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa doa kita akan dikabulkan, saya sangat yakin Tuhan pasti menjaga negeri kita. Asalkan, kita sama-sama sadar bahwa negeri yang telah ‘rusak’ harus segera diperbaiki. Belajar untuk berubah demi kebaikan.

“masa ini sungguh buruk, kawan! Tapi baguslah begitu. Karena kita di sini untuk membuatnya lebih baik lagi”

Kawan, mungkin hanya beberapa solusi yang mampu saya berikan untuk menjalankan peran kita (saya dan anda mahasiswa) sebagai agen sosial. Bahkan, saya tak cukup memiliki referensi akan peran itu. Tapi saya meyakini bahwa ini adalah pengharapan seorang mahasiswa yang masih peduli dengan permasalahan yang ada di negerinya.
Mungkin ini tak cukup memberikan solusi, atau mungkin ini solusi-solusi yang saya tawarkan sudah sangat usang. Tapi saya yakin, ketika mimpi-mimpi ini dituliskan oleh seribu, sejuta, bahkan oleh semua mahasiswa di Indonesia setidaknya mampu mengembalikan ruh-ruh humanistik kita sebagai mahasiswa. Saya katakan, mahasiswa itu pembelajar dan tak ada batasanya untuk belajar.

“Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan segala puji di akhirat bagi Allah. Dan Dialah yang Mahabijaksana, Mahateliti” (Saba’:1)
Orang yang berharap melihat sukses di mana orang lain melihat kegagalan, sinar mentari tatkala orang lain melihat bayang-bayang dan kilat-guntur. (OS Marden). 

Beberapa foto bencana alam di Indonesia






 
 
 
 
sumber: www.google.com

Heal The World lyrics

little girl talking

(I think about the generations
and they say they want to make it
a better place for our children and our children's children
so that they they they know it's a better world for them
and I think they can make it a better place)

^,^ Mahfud Achyar, Sastra Indonesia 2007, Unpad ^,^
Untuk:
HARI ILMIAH DAN TEMU TOKOH NASIONAL
DEPARTEMEN PENALARAN BEM KEMA UNPAD